Senin, 12 Desember 2011

PASAR GABUS (sebuah kenangan tentang “Ruang Publik-Ruang Bermain”)

Oleh Brandhal's Pati pada 27 Agustus 2010 pukul 22:15 wib.

Kemarin, saya dan beberapa kawan masuk komplek pasar Gabus setelah sekian lama hal itu tak pernah saya lakukan. Mungkin didorong oleh kerinduan saya pada masa kecil ketika pasar itu masih terbuka, belum berdinding tembok dan menjadi arena bermain anak-anak seusia saya dan mas-mas dan mbak-mbak saya ke atas.
Di masyarakat Gabus ada kepercayaan terkait dengan pasar yang akhirnya menjadi adat istiadat setempat, ada mitos bagi pasangan yang baru menikah akan melakukan acara keliling pasar sebanyak tiga kali, dan jika tidak dilakukan yang bersangkutan akan menjadi gila, dan hal ini masih dilakukan sebagian besar masyarakat Gabus, selain aspek mitos ada aspek logika sebagai pemberitahuan kepada publik tentang pasangan yang baru menikah itu, karena pasar salah satu area publik masyarakat Gabus.
Ya, saya ingat betul masa-masa itu, apapun permainan anak mayoritas kami lakukan didalam komplek pasar itu, dari olan-olan (sejenis permainan kelereng), jirak (sejenis permainan karet) gobak sodor, laker, gangsingan, slentik-an atom, kasti, bahkan main sepak bola (mungkin sekarang orang menyebutnya futsal) dan masih banyak lagi permainan teman-teman perempuan seperti seprento, dakon dan bekel yang tentunya siapapun pernah main di pasar Gabus akan mengingatnya.
Selain sebagai arena bermain masa kecil di masa saya, pasar itu juga menjadi Ruang Publik masyarakat Gabus, mulai dari sebagai tempat pemilihan kepala desa dan pemilu sampai acara tradisional dan arena tempat kesenian, setiap acara sedekah bumi secara rutin ada acara kesenian tradisi seperti wayang kulit, ketoprak, barongan dll. Yang sebelumnya biasanya pada siangnya sebelum wayangan ada bancakan kenduren sedekahan bersama berebutan nasi tumpeng dan betapa berharganya sebutir telur...
Heeemmmm... teringat jelas keriuhan dan kebersamaan kala itu, dan wayangpun mulai dimainkan sampai malam, anak-anak seusiaku dulu biasa keluyuran sampai malam, main pek-to (petak umpet) dan nimbrung nombok lotre mondok (dapatnya telur) bahkan dadu kumpul orang dewasa, pokoknya suasananya menyenangkan dan meriah.

Namun sesuai perkembangan jaman dan makin bertambahnya para pedagang di pasar membuat semua itu lambat laun mulai hilang, tak ada lagi lantai pasar yang lenggang selepas pedagang jualan, pasar sudah tertutup tembok, tak terdengar lagi keriuhannya radius dua ratus meter, tak ada penjual jamu dan sulapan, tak bisa lagi anak-anak bermain di lingkup dalam komplek pasar karena los-los kanan kiri sudah penuh lemari, tak ada berebutan layangan dan nge-jo benang layangan, tak ada ketoprakan malam lagi, tak ada lotre mondok dan dadu lagi... dan di sore itu, di pasar yang sama saya terkenang semua itu, mungkin hal ini dirasakan juga kawan-kawan seangkatan saya ke atas, yang sekarang masih tersisa adalah barongan malem jemuwah wage keliling kampung.
Gabus tempat dimana dulu saya dilahirkan di samping utara pasar menyimpan banyak kenangan, teringat pagi-pagi di masa saya belum sekolah banyak mbah-mbah kencing dengan bebasnya berdiri cuma dengan menjinjing kain jarik (ha ha ha...) pemandangan yang mungkin tak lajim di jaman sekarang, tukang obral berikut banjetnya, bakul jamu sambi pengobatan dan sulap, semua berjalan mengalir dan tanpa diburu waktu seperti laju kehidupan sekarang ini. Kini pasar telah berkembang pesat dan sesak, jajanan tradisional juga mulai tergantikan makanan pabrik, di sebelah barat pasar kira-kira seratusan meter telah berdiriminimarket waralaba, jalan ramai sepeda motor menggantikan dokar sebagai angkot di wilayah pasar, semoga nadi perekonomian terus berputar dan pasar tradisional tidak ikut punah seperti hilangnya areal publik tempat bermain saya dulu, semoga tidak digusur menjadi mall dan supermarket seperti yang terjadi di kota-kota besar dan tetap menjadi sumber penghasilan menggerakkan perekonomian masyarakat bawah ...semoga...!!!.

Salam,
Gabus, Jemuwah Pahing 27 Agustus 2010
Lor Pasar Gabus 

Minggu, 04 Desember 2011

JEMUWAH WAGENAN

 
kumpulan jemuwah wagenan
kamis, 1 desember 2011
jam 20:00 wib
di pelataran jemuwah wagenan

diisi pentas monolog “PECERèN” oleh dwi riyanto
dan diskusi budaya
 



Kumpulan jemuwah wagenan merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh Komunitas Jemuwah Wage Gabus pada tiap malem jemuwah wage bersamaan dengan ritual barongan muteri (mengelilingi) pasar Gabus.
Kumpulan dilaksanakan dengan suasana santai sambil minum kopi atau teh dan makan jajanan seadanya, berdiskusi ngalor ngidul tentang seni dan budaya.
Topik bahasan diskusi yang diangkat tentang eksistensi dan kebanggaan atas budaya lokal yang mulai terdesak oleh budaya-budaya global. Satu hal yang pasti, pertentangan dan tarik-menarik yang terjadi antara budaya lokal dan global tersebut tak bisa dihindari, dan terus akan berlangsung, lalu bagaimana kita menyikapinya?
Dan kumpulan kali ini dipentaskan Monolog "PECERèN" oleh Dwi Riyanto dengan ilustrasi lagu oleh Gagego Musik Kampoeng.

photo posting : Anggit Tejo Sasongko

PECERèN adalah parit kecil yang berfungsi sebagai saluran pembuangan limbah keluarga
sekaligus saluran air hujan disekitar rumah.
Dalam perkembangan jaman karena kebutuhan akan rumah,
sering orang lupa untuk menyisakan tanahnya
guna difungsikan sebagai pecerèn.
Dan yang terjadi air limbah merambah ke tanah tetangga.
Hal tersebut akan menimbulkan pertengkaran.

Itulah tema monolog di komunitas jemuwah wagenan
desa Gabus - Pati - Jawa Tengah.
Sederhana..!!

Ilustrasi lagu "PECERèN" (Dirembug)
(Gagego Musik Kampoeng)
 
Bebarengan ayo dirembug perlune aja padu
ketemu karepe kebukak byak.. byak.. byak..
ayo padha ngguyu..
Ayo padha dikulinakna rembugan perkarane
aja karepe dhewe kebukak byak.. byak.. byak..
ayo padha ngguyu..
 
Pring sedhapur.. ing pinggir desa..
dadi tuladha.. kanggo para warga..
Ayo dulur.. sing padha akur..
aja dha tawur.. engko mundak ajur..
Iki ngono mung lelagon gegojegan



Sabtu, 03 Desember 2011

SEPIRIT BUDAYA

Pengertian secara umum tentang Budaya tidak bisa ditafsir secara material, sebab Budaya merupakan spirit dari masyarakat. Apalagi Budaya bukan sesuatu yang mati atau berhenti. Budaya akan selalu berputar sesuai perkembangan zaman. Kadang orang menjadi kaget dengan perkembangan sikap manusia (terutama pada masyarakat Indonesia) yang budayanya sangat dilandasi dengan nilai-nilai, etika, estetika dan adat-istiadat yang kuat.
Tetapi pada akhir-akhir ini Indonesia sedang mengalami fase yang tidak jelas. Itu terjadi karena pengaruh perkembangan politik, ekonomi dan komunikasi. Hal ini tampak sangat nyata dengan munculnya sikap pragmatis, materialistis dan konsumtif yang membabi buta. Tata nilai akhirnya menjadi sesuatu yang asing. Sementara waktu perkembangan negatifnya memang sulit dibendung. tetapi pada saatnya akan menuju ke normatif kembali. Ibarat COKROMANGGILINGAN.
Teknologi dan komunikasi sangat berpengaruh kuat. Dalam menerima dua hal tersebut, kita hanya berkutat pada sampahnya teknologi dan komunikasi belaka.. Bahwa hanya efek negatifnya saja yg dikembangkan. Karena kita sebenarnya gagap untuk menerima, sehingga memunculkan sikap kamuflase. Bangga dianggap maju, dan moderen. Sikap beginilah yang akan melunturkan tata nilai, etika dan estetika. Orang tidak punya pijakan kepribadian yang kuat.
PENDIDIKAN, Sistem Pendidikan juga malah ikut andil dalam terkikisnya jati diri anak bangsa. Dengan format standar internasional yang diadakan sendiri karena pada prinsipnya tidak ada standar seperti itu di dunia, menjadikan pelajar sangat terbebani dengan materi pelajaran. Anak belajar dari pagi hingga sore, hal ini akan mencipta sikap individual yang tinggi, dan mencipta sikap materialistis karena beban biaya pendidikan yang tinggi pula.
TRADISIONAL. Bagi kita yang mengkategorikan kesenian asli Indonesia masuk dalam kesenian tradisional adalah keliru besar. Nampaknya kita terlalu tidak percaya diri atau minderwaardeh dan berjiwa inlander. Sebab bentuk kesenian yang ada sudah terbentuk ratusan tahun yang lalu, dan seni tidak mengenal waktu. Memakai istilah tradisional artinya secara kejiwaan kita lemah dan tidak bangga dalam menegakkan diri sebagai bangsa untuk sejajar dengan bangsa lain.
(Dwi Riyanto)

Sabtu, 26 November 2011

Riwayat Pati

Sejarah Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: "keris rambut pinutung dan kuluk kanigara". Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab Babat Pati dan kitab Babat lainnya dua pusaka yaitu "keris rambut pinutung dan kuluk kani" merupakan lambang kekuasan dan kekuatan yang juga merupakan simbul kesatuan dan persatuan.
Barangsiapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di Pulau Jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoka.

 

Kevakuman Pemerintahan di Pulau Jawa

Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi di Pulau Jawa vakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerajaan Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan Singasari surut, sedang Kerajaan Majapahit belum berdiri.
Di Pantai utara Pulau Jawa Tengah sekitar Gunung Muria bagian Timur muncul penguasa lokal yang mengangkat dirinya sebagai adipati, wilayah kekuasaannya disebut kadipaten.
Ada dua penguasa lokal di wilayah itu yaitu. 1. Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama Yudhapati, wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai putra bernama Raden Jasari. 2. Penguasa Kadipaten Carangsoka, Adipatinya bernama: Puspa Andungjaya, wilayah kekuasaannya meliputi utara sungai Juwana sampai pantai Utara Jawa Tengah bagian timur. Adipati Carangsoka mempunyai seorang putri bernama Rara Rayungwulan

 

Kadipaten Carangsoka dan Paranggaruda Berbesanan

Kedua Kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling menghormati dan saling menghargai untuk melestarikan kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan, Kedua adipati tersebut bersepakat untuk mengawinkan putra dan putrinya itu. Utusan Adipati Paranggaruda untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun calon mempelai putri minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup (resepsi) dimeriahkan dengan pagelaran wayang dengan dalang kondang yang bernama "Sapanyana".
Untuk memenuhi bebana itu, Adipati Paranggaruda menugaskan penggede kemaguhan bernama Yuyurumpung agul-agul Paranggaruda. Sebelum melaksanakan tugasnya, lebih dulu Yuyurumpung berniat melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoka dengan cara menguasai dua pusaka milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan uSondong Majerukn kedua pusaka itu dapat dicurinya namun sebelum dua pusaka itu diserahkan kepada Yuyurumpung, dapat direbut kembali oleh Sondong Makerti dari Wedari. Bahkan Sondong Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan Pusaka itu diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai dan memiliki dua pusaka itu gagal.
Walaupun demikian Yuyurumpung tetap melanjutkan tugasnya untuk mencari Dalang Sapanyana agar perkawinan putra Adipati Paranggaruda tidak mangalami kegagalan (berhasil dengan baik).
Pada Malam pahargyan bojana wiwaha (resepsi) perkawinaan dapat diselenggarakan di Kadipaten Carangsoka dengan Pagelaran Wayang Kulit oleh Ki Dalang Sapanyana. Di luar dugaan pahargyan baru saja dimulai, tiba-tiba mempelai putri meninggalkan kursi pelaminan menuju ke panggung dan seterusnya melarikan diri bersama Dalang Sapanyana. Pahargyan perkawinan antara " Raden Jasari " dan " Rara Rayungwulan " gagal total.
Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, emosi tak dapat dikendalikan lagi. Sekaligus menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka. Dan peperangan tidak dapat dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka mempimpin prajurit Carangsoka, mengalami luka parah dan kemudian wafat. Raden Kembangjaya (adik kandung Raden Sukmayana) meneruskan peperangan. Dengan dibantu oleh Dalang Sapanyana, dan yang menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan prajurit Paranggaruda. Adipati Paranggaruda, Yudhapati dan putera lelakinya gugur dalam palagan membela kehormatan dan gengsinya.
Oleh Adipati Carangsoka, karena jasanya Raden Kembangjaya dikawinkan dengan Rara Rayungwulan kemudian diangkat menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang Sapanyana diangkat menjadi patihnya dengan nama " Singasari ".

 

Kadipaten Pesantenan

Untuk mengatur pemerintahan yang semakin luas wilayahnya ke bagian selatan, Adipati Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama " Kadipaten Pesantenan dengan gelar " Adipati Jayakusuma di Pesantenan.
Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu " Raden Tambra ". Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati Pesantenan, dengan gelar " Adipati Tambranegara ". Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan bijaksana. Menjadi songsong agung yang sangat memperhatikan nasib rakyatnya, serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan kerukunan, kedamaian, ketenangan dan kesejahteraannya semakin meningkat.

 

Kabupaten Pati

Untuk dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnya Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri menuju ke arah barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.
Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten Majakerta yang tersimpan di musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang keempat antara lain berbunyi bahwa : ..... Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan Abhiseka Wiralanda Gopala pada tanggal 13 Desember 1323 M. Dengan patihnya yang setia dan berani bernama Dyah Malayuda dengan gelar "Rakai", Pada saat pengumuman itu bersamaan dengan pisuwanan agung yang dihadiri dari Kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di dalamnya.

 

Pati Bagian dari Majapahit

Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.
Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam pisuwanan agung di Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K.M. Sosrosumarto dan S.Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada : 12 yang lengkapnya berbunyi : ..... Tan alami pajajaran kendhih, keratonnya ing tanah Jawa angalih Majapahite, ingkang jumeneng ratu, Brawijaya ingkang kapih kalih, ya Jaka Pekik wasta, putra Jaka Suruh, Kyai Ageng Pathi nama, Raden Tambranegara sumewa maring Keraton Majalengka.
Artinya Tidak lama kemudian Kerajaan Pajajaran kalah, Kerajaan Tanah Jawa lalu pindah ke Majapahit, adapun yang menjadi rajanya adalah Brawijaya II, yaitu Jaka Pekik namanya, putranya Jaka Suruh. Pada waktu itu Kyai Ageng Pati, yang bernama Tambranegara menghadap ke Majalengka, yaitu Majapahit.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut serta hadir dalam pisowanan agung di Majapahit. Pisowanan agung yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu pada bulan Juli dan Agustus 1323 M (Masehi). Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 yaitu : 3 Juli, 7 Agustus dan 14 Agustus 1323.

 

Hari Jadi Pati

Kemudian diadakan seminar pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SMA se Kabupaten Pati, Konsultan, Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah UNDIP Semarang, secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa pada tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati.
Tanggai 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor : 2/1994 tanggal 31 Mei 1994, sehingga menjadi momentum Hari Jadi Kabupaten Pati dengan surya sengkala " KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI " yang bermakna " Dengan bekerja keras dan penuh do'a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah ". Untuk itu maka setiap tanggal 7 Agustus 1323 yang ditetapkan dan diperingati sebagai "Hari Jadi Kabupaten Pati".
Tulisan diunduh dari: 
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pati

Jumat, 25 November 2011

Bancakan Pojok Lor Pasar Gabus

Dalam rangka selamatan Sedekah Bumi, reresik bumi gabus supaya Desa Gabus selalu dalam lindungan Tuhan YME, mendapatkan rejeki yang berkecukupan, juga mendoakan para leluhur Desa Gabus agar dimuliakan oleh Nya.












Danyang Desa Gabus

Para Danyang Desa Gabus :  



kyai Dalim (kletak), 
kyai Wenang (gabus kulon), 
kyai Damarjati (jaten),
kyai Sekar Petak (sekar petak)
nyai Serambi (pasar),
kyai Gonggomino (pasar),
kyai Slamet (pasar),
kyai Suwatu (gabus lor),
kyai Dalim (wedusan),
kyai Sona (gabus kidul)





Kalau ada kesalahan informasi mohon dibetulkan




Rabu, 23 November 2011

Gunungan

Persiapan utk acara sedekah bumi, mengangkat simbol gunungan sbg rasa syukur yg memberi kehidupan atas tanah yg subur dg hasil bumi yg melimpah. smg bumiku tetap sejahtera, murah sandang, murah pangan, toto titi tentrem kerto raharjo nirboyo ing sambikolo. (Foto dan teks: Zubeth Hesa).

Arak-Arakan Sedekah Bumi Gabus 2011

Sedekah Bumi di Desa Gabus secara rutin telah dilakukan tiap tahun sebagai sebuah ritual budaya dalam upaya bersih desa oleh warga desa yang didalamnya meliputi doa syukur kehadirat Tuhan YME sekaligus doa permohonan berkah dan rezeki dimasa depan serta mendoakan para leluhur desa.
Pada pelaksanaan sedekah bumi tahun lalu (tahun 2010) terdapat pengembangan dalam pelaksanaan sedekah bumi di Desa Gabus yaitu adanya ritiual arak-arakan (kirab) yang dilaksanakan oleh pemimpin desa gabus (Kapala Desa beserta perangkat), peristiwa arak-arakan ini ternyata mendapat sambutan baik dari masyarakat sehingga untuk pelaksanaan sedekah bumi tahun ini arak-arakan diharapkan dapat dilaksanakan kembali dan dapat dilaksanakan secara rutin tiap tahunnya.
Oleh karena itu panitia sedekah bumi tahun ini kembali mengadakan acara arak-arakan yang lebih disempurnakan dengan menambahkan Gunungan pada rangkaian arak-arakan sebagai simbol kebersamaan warga desa dalam pelaksanaan sedekah bumi dan ritual doa sebagai perwujudan permohonan masyarakat kepada Tuhan YME dan penghormatan kepada leluhur
Pelaksanaan sedekah bumi dilaksanakan dalam 2 (dua) bentuk prosesi :
  1. Arak-arakan gunungan dan doa bersama
  2. Hiburan
1.    Arak-arakan gunungan dan doa bersama
Bentuk prosesi :
a.    Arak-arakan gunungan, adalah mengiring gunungan berjumlah 4 (empat)  dibuat oleh perwakilan RT-RT bagian barat, timur, utara dan selatan dan 1(satu) tumpeng manganan dibuat oleh perangkat desa, yang diarak dimulai dari rumah bapak kepala desa sampai ke suatu tempat (terminal pasar) untuk di doakan.
Arak-arakan dipimpin oleh bapak kepala desa beserta perangkat desa dan ketua RW dan RT dengan menggunakan pakaian adat jawa atau pakaian jawa keseharian, dan diikuti pula oleh kelompok seni ( barongan, kelompok rebana, pencak silat dll) sebagai pengiring.
b.   Doa bersama, 4 gunungan dan 1 tumpeng manganan diletakkan di tengah arena, seluruh warga desa melakukan doa bersama yang diwakilkan kepada perwakilan kelompok agama yang ada di desa gabus sebagai bentuk rasa syukur warga desa gabus kepada Tuhan YME sekaligus doa permohonan berkah dan rezeki dimasa depan, serta mendoakan para leluhur desa.
c.    Kirim manganan sebagai penghormatan kepada leluhur Desa Gabus, setelah acara doa bersama tumpeng manganan dan sebagian dari gunungan  dikirimkan ke makam  para leluhur (punden) desa gabus sebagai bentuk kecintaan dan penghormatan kepada leluhur desa.
Pada akhir acara gunungan diperebutkan oleh masyarakat (rebutan)

2.    Hiburan
Hiburan dilaksanakan dengan menyuguhkan antara lain pagelaran wayang kulit siang dan malam di pasar dan  pemutaran film pada malam harinya tentang potret kehidupan masyarakat desa gabus, serta pementasan kesenian lain disesuaikan dengan kemampuan keuangan desa.


URUTAN PELAKSANAAN :
Sedakah bumi dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 16 Oktober 2011

1.  Sebelum tanggal 16 Oktober 2011 masyarakat dibantu oleh panitia membuat gunungan berjumlah 4 buah gunungan sebagai simbol kebersamaan sesuai dengan kelompok RW. Pengelompokannya adalah :
a.    Gunungan 1 oleh RW 5 dan 8
b.    Gunungan 2 oleh RW 6 dan 7
c.    Gunungan 3 oleh RW 3 dan 4
d.    Gunungan 4 oleh RW 1 dan 2

2.    Tanggal 16 Oktober 2011 :
  • Pukul 09.00 pagi hari diadakan pementasan wayang kulit di pasar gabus
  • Pukul 14.30 gunungan dan peserta arak-arakan sudah siap di petinggen (rumah kepala desa) sekaligus persiapan arak-arakan
  • Pukul 15.00 arak-arakan diberangkatkan dari petinggen menuju terminal gabus
  • Pukul 16.30 arak-arakan sampai di tempat prosesi doa (terminal gabus), dan prosesi doa bersama dilaksanakan dipimpin oleh pemuka agama
  • Pukul 17.15 acara doa bersama selesai, dan gunungan diperebutkan (diroyok) oleh masyarakat, dilanjutkan pengiriman manganan ke makam leluhur desa sebagai simbol penghormatan dan kecintaan kepada leluhur desa.
  • Pukul 19.00 pemutaran film sampai selesai
  • Pukul 20.30 melanjutkan pementasan wayang kulit di pasar sampai selesai

PESERTA ARAK-ARAKAN :
Barisan sesuai urutan dari depan :
  1. Barongan
  2. Pencak Silat
  3. Kepala Desa dan Keluarga dengan berpakain jawa yang disesuaikan
  4. Dalang Ki Mursa
  5. Tumpeng Manganan
  6. Gunungan 1 diikuti Ketua RT-RT dan Ketua RW 7 dan RW 8 dengan berpakain jawa yang disesuaikan
  7. Gunungan 2 diikuti Ketua RT-RT dan Ketua RW 6 dan RW 7 dengan berpakain jawa yang disesuaikan
  8. Gunungan 3 diikuti Ketua RT-RT dan Ketua RW 3 dan RW 4 dengan berpakain jawa yang disesuaikan
  9. Gunungan 4 diikuti Ketua RT-RT dan Ketua RW 1 dan RW 2 dengan berpakain jawa yang disesuaikan
  10. Kelompok rebana
  11. Kelompok kesenian lain dan atau kelompok partisipan lain.

RUTE ARAK-ARAKAN :
Petinggen (rumah kepala desa) – Tugu – depan Kantor Polisi -  ke timur mengitari Pasar – Terminal.

Diharapkan masyarakat Desa Gabus turut berpartisipasi memeriahkan pelaksanaan sedekah bumi dan mari bersama kita lestarikan dan wariskan budaya nenek moyang untuk generasi penerus. Matur Nuwun.

AGOENG SOELISTIJONO

Lahir 18 Pebruari 1967.
Masa kanak-kanak hingga lajangnya dibesarkan dalam suasana sentuhan kampung budaya Gabus.
Sekali waktu pernah berguru ngelmu paguyuban-patembayan sebisa-bisanya. Sekarang menjalani kehidupan bangsa nomad, hidup berpindah-pindah dari satu masyarakat ke masyarakat lain mengikuti kemana angin meniup...

HANI INDRIYANI

Perempuan PNS yang tawanya renyah jebolan sekolah seni tari di Jogja ini pengelola sanggar tari Widyas Budoyo Gabus yang terletak di sebelah pojok lor wetan pasar gabus, dedikasi terhadap kesenian terutama seni tari tidak diragukan lagi, apapun event-nya asalkan tari jawa pasti oke...
Siswa tari yang nyantrik tak terhitung lagi banyaknya terutama dari anak-anak siswa SD dan SMP. Semua itu dilakukannya sebagai bentuk pelestarian budaya jawa khususnya tari dan pewarisan aset leluhur bangsa kepada generasi penerus ......siapa lagi yang akan menjaga dan melestarikannya kalau bukan kita sendiri.......

S BUDI UTOMO

dia salah satu produk budaya yang tumbuh di desa gabus yang sekarang masuk dalam lingkungan teknokrat muda sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di semarang... kepeduliannya tentang pemberdayaan masyarakat selalu mengemuka... ide-ide pengembangan kapasitas manusia menggelitik nalar untuk selalu berolah pikir dan berolah rasa... kapan damai dan sejahtera hadir ditengah masyarakat...? dan bagaimana mencapainya...?
Katanya:  "kadang ,,, budaya dieja sebagai masa lalu yang kaya akan nilai, sarat akan makna. untuk itu ,,, dipertahankan dan dipuja. tidak boleh dirubah. tidak boleh diganti. mesti diuri-uri. anak kandung peradaban itu,,, juga dapat dieja sebagai cara dan laku kita hidup kekinian dan masa depan dengan/atau tanpa menengok ke belakang. budaya adalah dibentuk dan diciptakan dengan jaman dan lingkungan. tidak taken for granted,,,"

PUTUT PUSPITO EDI

pelukis sekaligus juga tukang tiup suling di kelompok musik "gagego musik kampung"... lukisannya sudah sering dipamerke di ajang pameran lukisan mulai dari pameran lukisan berskala rt-rw sampai nasional sudah pernah... kelompok musiknya juga sering pentas dimana-mana bayaran maupun tanpa bayaran... pekerja seni satu ini memang total dalam berkesenian... sehingga angen-angen tentang kampung seni dan budaya menjadi target yang mesti dicapai... dari sinilah dimulai semua itu.

Katanya: "Saat ini, generasi ini akan bicara hal ikwal 'kekinian' orang-orang sekarang sering bilang 'kontemporer' karena jejak masa lalu yg indah, dan masa depan di harapkan gemilang, lebih baek dari hari ini. Jadi tidak pada menyoal "ngelus-elus budaya kuno dan ketinggalan jaman," tetapi lebih kepada upaya mengambil dan belajar yang baek-baek dari produk yang pernah ada sebelum kita. RAHAYU!"

SAMNUR SAM

Lahir 10 Juni 1972... Waktu kecil gak tau nyanyi nek nyanyi suarane mblero, tapi saat ini dia adalah tukang gesek rebab ngrangkep vokalis kelompok musik "Gagego Musik Kampung" suara tenor dimilikinya, mungkin karena sering nglatih drama di sekolah-sekolah sehingga suaranya yang tadinya mblero jadi halus mulus....
Sepanjang perjalanan hidupnya lirik lagu, karya sastra maupun naskah drama banyak diciptakan dan dipentaskan
Berkesenian adalah pilihan hidupnya tak perduli orang-orang pada pamer dan berebut kadonyan, tapi panggilan jiwa untuk selalu nguri-uri kabudayan selalu bergelora di dadanya dan menempel di jidatnya...

KRISTIYONO

lahir 27 oktober 1966... perawakannya tinggi besar berambut ngombak cenderung kriting, kalo di pewayangan hampir mirip werkudoro kadang ya mirip burisrowo kalo pas nesu....
seperti werkudoro tindakan maupun prinsipnya lempeng galeng, kepedulian kepada wong cilik selalu menjadi background setiap langkahnya, jangan berani-berani menentang prinsipnya... tendang langsung mencelat tekan jabalekat.
kaos oblong dan celana komprang selalu melekat di badannya mboh iku ning acara santai maupun resmi, wayah siang maupun malam, cuaca udan maupun panas... tapi demi kemaslahatan orang banyak apapun akan dilakukan tanpa pamrih...

GEMBOENG PRAHARA


pendemen rokok mild sing iwut ngarak sesaji kanggo tentreme bumi gabus ini lahir dan tumbuh remaja di gabus, setelah itu mencoba melanglang buana mencari bekal dan pengalaman hidup...
tapi ternyata kenangan masa kecil dan remajanya di gabus terlalu kuat melekat di hati, akhirnya pulang kampung....
keinginan agar jati diri bangsa tidak terkoyak dan tergerus oleh roda kehidupan yang materialistis maupun sepetnya mripat meruhi budaya asing yang pada melenggang tak sopan, mendorongnya berbuat sesuatu.... 
revitalisasi budaya adalah pilihannya...

SUTOPO TRIDOYO

Lahir, 22 Agustus 1963.. ketua RT adalah jabatannya sekarang, boleh dibilang merupakan salah satu revolusioner kebudayaan di desa gabus, atas nama kebudayaan dirinya selalu tampil didepan.
Bicaranya blak-blakan, pengamatannya selalu tajam dan kritis sehingga terkesan galak padahal sebenarnya memang galak,... "lha nek ora digalaki ngko wong-wong ora nggenah iku da sak kepenake nglanggar tatanan ngrusak budayane awak dewe.. iya ora.. !?".

DWI RIYANTO

Lahir 15 Oktober 1962, cendekiawan ini asli gabus tapi sekarang tinggal ning ngarep gapuro btn gembleb pati (kulon ndalan) ana gang cilik pavingan iku mlebu ae. omah no 5 madep ngidul.
Sejak mula remaja suka akting dan baca puisi dimulai dari perkumpulan Persatuan Pelajar Gabus (PPG) jaman mono era tahun 1980-an sering manggung apa itu baca puisi apa itu teater apa itu kethoprak, makanya sekarang jadi penglatih drama di sekolah-sekolah dan sering mengikuti festival teater.
Konsistensi berkesenian membuahkan kepercayaan masyarakat seni se-Kabupaten Pati kepadanya untuk memegang tempuk kepemimpinan Dewan Kesenian Pati (DKP)

Selasa, 22 November 2011

Festival Pasar Gabus, Upaya Tumbuhkan Kantung Budaya

 PATI--MICOM: Upaya membentuk kawasan yang menjadi kantung budaya, seperti yang dilakukan pengiat kesenian di Gabus, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, membutuhkan sebuah proses. Itu pula yang coba diletupkan melalui gelaran Festival Pasar Gabus, akhir pekan lalu.

Gelaran yang dilangsungkan pada 9 Oktober dan 10 Oktober 2010 di Desa Gabus, Kecamatan Gabus, Pati, Jawa Tengah itu mendapatkan wadah dengan masa hajatan kaum agraris di Tanah Jawa yang biasa disebut Sedekah Bumi. Ekspresi rasa syukur masyarakat desa atas hasil panen dan hasil kerja selama setahun, serta lantunan doa dan harapan akan hari esok yang lebih baik. Kegiatan Sedekah Bumi yang biasa dilakukan di setiap bulan Apit pada penanggalan Jawa.

Kawasan pasar ditetapkan menjadi pusat kegiatan, karena sudah sejak lama menjadi tempat digelarnya Sedekah Bumi. Selain itu, pasar juga menjadi wilayah yang disakralkan bagi warga Gabus, yang berjarak sembilan kilometer di selatan Kota Pati.

Perupa Putut Puspito Edi sebagai pengiat kesenian di wilayah itu, Senin (11/10) menuturkan, berbagai kegiatan budaya digelar dan mendapat sambutan dari warga setempat. Mulai dari seni instalasi yang menjadi latar pertunjukan, hingga bentangan layar proyektor yang menampilkan gambar-gambar suasana di kampung itu.

Festival diawali dengan prosesi kirab budaya dari rumah kepala desa setempat. Seluruh pengisi festival berjalan menuju tempat pertunjukan di sekeliling pasar, dengan kesenian barongan sebagai pembuka jalan. Ditampilkan pula performance art oleh para pesilat Setia Hati Terate.

Titik terakhir pementasan  digelar tari kolosal Sedekah Bumi oleh siswa SMPN 1 Gabus, Silat Setia Hati Terate,Sanggar Widyas Budaya. Mahasiswa ISI Surakarta yang sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tampil pula, berkolaborasi dengan kesenian barongan. Prosesi berakhir dengan penyerahan padi oleh tokoh Dewi Sri, simbol dewi padi, kepada kepala desa melalui dalang yang siap mementaskan wayang kulit. Kemudian pertunjukan wayang kulit dihelat hingga pagi, dan diakhiri pemutaran film indieBroLL oleh komunitas Teater GONG. Pada hari kedua, digelar pergelaran Kethoprak Siswo Budoyo Pati.

Ide pementasan berawal dari pertemuan mahasiswa KKN dari ISI Surakarta dengan Hani Indriyani, pimpinan Sanggar Widyas Budaya,Tunggul Ariyanto (seorang penggemar heritage lokal), dan Putut Puspito Edi. Mereka pun sepaham, ada potensi mengembangkan budaya lokal. Kegiatan budaya yang bila mendapat dukungan akan terus tumbuh dan dapat dikelola dengan lebih baik, serta dapat dilangsungkan setiap tahun.

"Gabus sebagai kampung kantung kesenian di bagian selatan Kota Pati diharapkan dapat  menjadi ruang alternatif baru sebagai kantung kesenian di wilayah Pesisir yang kadang terpinggirkan Oleh pusat pusat budaya arus besar." jelas Putut.

Sedangkan Ketua Dewan Kesenian Pati Dwi Riyanto menyatakan, peristiwa berkesenian dalam Festival Pasar Gabus dan Sedekah Bumi merupakan simbol kegotong royongan rakyat pedesaan. Pada kemasan seni ada roh kebersamaan. Diharapkan peristiwa budaya pada Sedekah Bumi mampu menjadikan Gabus sebagai kantung budaya di Pati.

"Apalagi potensi berkesenian di sini cukup tinggi. Dengan kerja sama seluruh masayarakat hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dapat dilaksanakan," ujar Dwi Riyanto. (OL-2)

Tulisan dan foto di atas, diunduh dari:
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/10/12/174527/90/14/Festival-Pasar-Gabus-Upaya-Tumbuhkan-Kantung-Budaya

HIKAYAT GULING: Ini bukan soal kambing guling atau tukar guling!

Biasalah saat kita tidur dengan isteri atau suami, masih juga ada guling yang menemani di sisi kanan kirinya, sehingga sesekali suami isteri itu saling beradu punggung karena masing-masing menikmati memeluk gulingnya setelah kelelahan sampai pulas tertidur.

Celotehan ini bukan bermaksud mengusili kenikmatan anda tidur berpeluk guling.
Sekedar untuk diketahui secara diam-diam, ini diantara kita saja, nggak usahlah rahasia ini diceritakan kepada pasangan anda.
Tidak ada salahnya kita mengetahui bagaimana ikhwal guling bisa berada dalam pelukan kita.
History of Guling bisa jadi usianya jauh  lebih tua daripada History of Java-nya Sir Thomas Stamford Raffles.

Seperti pernah diceritakan sastrawan Pramoedja Ananta Toer, guling pertama kali datang ke Nusantara bersama-sama dengan pelaut Belanda pada masa VOC.
Gelombang permulaan bangsa Belanda yang masuk ke Nusantara belumlah membawa isteri-isteri mereka.
Sebagai pengganti mereka yang tidur jauh dari isterinya, dibuatlah replika isteri, yang dkenal dengan sebutan Dutch Wife, yang sekarang ini di seantero Indonesia lazim disebut guling.
Saya belum menyelidiki apakah di benua Eropa saat itu sudah ada peradaban guling.
Guling jaman itu ukurannya masih gede dan panjang, yah kurang lebih seukuran isteri-isteri mereka.
Tidak seperti jaman sekarang ini, gulingnya kecil-kecil sehingga anak kecilpun ikut-ikutan memeluk guling.

Peninggalan replika guling jaman dahulu yang segede manusia bisa dilihat di museum Mulawarman yang merupakan bekas kesultanan Kutai Kartanegara di Tenggarong Kaltim.
Saya tahu karena pernah empat tahun singgah di kota itu.
Jaman dahulu keraton sudah disinggahi bangsa-bangsa asing, sehingga disediakan kamar-kamar untuk mereka, ada kamar khusus untuk bangsa Eropa, untuk bangsa Cina, untuk bangsa Jepang, dan kamar khusus untuk bangsa Arab, bangsa pribumi disediakan atau tidak saya sudah lupa, dengan tempat tidur dan interior kamar mengikuti seni arsitektur masing-masing bangsa tersebut.
Dugaanku guling ala dutch wife itulah yang menginspirasi keberadaan guling yang sekarang disimpan di museum itu.

Begitulah hikayatnya.
Dutch wife jaman sekarang sudah lebih "hidup" lagi, bisa anda lihat di Wikipedia, di Jepang ada yang mengkreasinya sebagai boneka guling (sex-doll) berpostur perempuan beneran yang lentur dengan segala aksesori dan fungsinya.
So, apabila saat tidur anda diabaikan pasangan anda yang lebih memilih memeluk guling, wah, itu sudah nyata-nyata serong guling di depan hidung anda.
Namun nggak usah khawatir.
Selama yang kudengar, belum ada satupun hakim yang memutus perceraian mendasarkan pada alasan gugatan cerai karena pasangannya serong dengan guling.
Atau hanya karena mereka pada tidak tahu riwayatnya ya?
Bisa loh ke depannya nanti, bila riwayat guling ini sudah diketahui orang secara meluas, memeluk guling dapat dianggap serong sehingga jadi alasan perceraian, apalagi yang dipeluk macam guling seperti yang diceritakan di atas.
Besar kemungkinan hakim akan mengabulkan gugatan cerai jika karena memeluk guling itu lalu antara suami isteri timbul percekcokan terus menerus yang sudah tidak mungkin bisa didamaikan lagi, sehingga tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri, sebagaimana dimaksud pasal 39 UU Perkawinan.
Tapi apa sampai segitunya ya?

Jadi saranku -- ini di antara kita saja ya -- demi menjaga kondusivitas keharmonisan perkawinan anda, buang jauh-jauh itu guling dari kamar tidur anda. Bilang aja gulingnya digondol koetjing atau diodol-odol goekgoek...
(Agoeng Soelistijono)