Sabtu, 17 Maret 2012

JEMUWAH WAGE TEATERAN


 

















Pementasan Drama  “Mengasah Pisau Cukur”  oleh Teater Keset Kudus

Di
Pelataran Jemuwah Wage   Ds/Kc Gabus Rt 5/V Pati

Hari, Tanggal
Kamis, 15 Maret 2012

Jam
19.30    Wib

Susunan Acara
-     Pementasan Drama  “Mengasah Pisau Cukur”  oleh Teater Keset Kudus
-     Diskusi Pementasan
-     Pemutaran Film (kalo sempet)


 

“ Mengasah Pisau Cukur “  Karya :  Hanindawan


        Adalah Pak Emon, seorang tua yang berprofesi sebagai Tukang Cukur keliling yang memilih berteduh dibawah pohon untuk menjalankan usahanya tsb. Namun menurut penuturan Pak Emon sendiri, pohon – pohon tempat ia berteduh selalu saja ditumbangkan dengan berbagai alasan. Sehingga Pak Emon harus mencari pohon – pohon yang lain yang bisa ia jadikan tempat berteduh. Hingga ia menemukan sebuah tempat yang ia anggap sebagai tempat terakhirnya. Disana ia juga menanam pohon sendiri yang ia anggap miliknya dan tak ada seorangpun yang bisa menebangnya. Ternyata, Pak Emon juga menyimpan semua cerita memilukan selama hidupnya menjadi orang yang selalu terusir karena penebangan – penebangan pohon tempat ia berteduh. Dendampun menjadi satu – satunya alasan yang membuat ia selalu menunggu seseorang, laki – laki, yang ia anggap telah membuat dia kehilangan semuanya. Termasuk anak dan istrinya yang meninggal dunia karena sakit dan ia tak mampu membeli obat. Semua laki – laki yang ia jumpai, selalu dalam prasangka dendam Pak Emon. Sering ia mengkhayal ada seorang laki – laki yang datang untuk potong rambut, dan diyakininya bahwa laki – laki itulah yang selalu menebangi pohon – pohon.
Adalah Ifah dan Selamet, yang juga berada ditempat terakhir Pak Emon menanam pohonnya sendiri, yang sudah hafal betul perilaku Pak Emon. Ifah, seorang wanita yang ditinggal pergi suaminya, yang menyatakan kepedulian pada Pak Emon dengan rela menghidupi Pak emon untuk tetap bertahan hidup. Wanita penjaja gorengan, yang sudah menganggap Pak Emon senagai orang tuanya sendiri. Yang tak rela Pak Emon memendam dendam kesumatnya. Selamet, seorang laki – laki yang membujang karena tak ada satu wanitapun yang mau menjadi pendamping hidupnya. Yang diam – diam juga menyukai Ifah, tetapi tak berani mengungkapkan isi hatinya. Seorang yang terlihat lugu apa adanya ketika berbicara.

Adalah Sopir angkota, yang juga menaruh hati pada Ifah, yang ternyata sudah memiliki anak istri. Rela melakikan apa saja demi mendapatkan pujaan hatinya. Yang ternyata, juga dicurigai Pak Emon sebagai laki – laki penebang pohon – pohon Pak Emon. Hingga suatu saat, Sopir itu tak berdaya menghadapi bujuk rayu Pak Emon untuk duduk di kursi yang sudah ia persiapkan sejak lama. Di atas kursi itulah, Pak emon merasa ia tidak sia – sia menunggu dan selalu mengasah pisau cukurnya hingga tajam. Pisau Cukur, yang ia anggap satu – satunya senjata yang ia anggap mematikan yang hanya dimiliki seorang tukang cukur keliling. Prosesi pembalasan dendam pun sudah begitu rupa dipersiapkan Pak Emon selam bertahun – tahun, hingga ia terlupa bahwa ada orang – orang yang tak rela adanya dendam yang terbalas pada orang yang belum tentu bersalah itu. Dan Pak Emon pun harus kembali tersungkur dibawah pohon rindang itu dengan dendam yang terus membuncah pada setiap laki – laki yang ia anggap sebagai penebang pohon – pohon itu. “ tak ada lagi yang bisa menebang pohon sesuka hatinya “ demikianlah ucapan Pak Emon demi menjaga pohon – pohonnya itu.
Sebuah cerita yang mengulas tentang makna – makna hidup yang multi kompleks dan multi tafsir tersebut. Yang bisa kita dengar dari berbagai sisi kehidupan realita, betapa penggusuran yang terjadi demi sebuah keberpihakan kepentingan. Sehingga banyak korban dari kalangan kecil yang tidak tahu menahu prosedur hukum yang ada. Juga makna dari sisi penebangan – penebangan pohon di hutan yang tanpa didasari ijin yang juga tanpa perhitungan resiko yang akan dihadapi. Sebuah proses kehilangan kita terhadap kawasan hijau yang menjadi sumber kehidupan kita...adalah... POHON.

Sutradara : Jesi Segitiga, Astrada : Didik Ariyadi, Aktor dan Aktris : Wisnu Dw sbg Pak Emon, Evi Coin sbg Ifah,  Lasimin Djavu sbg Selamet,  Dito Morra sbg Sopir ,                      
Pnt Musik : Zainuddin  Abdillah S,Pd., Widha Sukardi, Ulul Azmi, Ahmad Zaki Yamani S,Pdi

Jumat, 09 Maret 2012

Pitutur Di Jaman Yang Kehilangan Tutur

Putut Puspito Edi
oleh Putut Puspito Edi pada 3 Maret 2012 pukul 19:30

Perkembangan jaman bagai lintasan lintasan kisah tanpa jeda, bergerak demikian cepatnya tanpa batas. Membuka tirai dan dinding pemisah antar wilayah secara fisik maupun matriil, terbukanya ruang ruang privasi ke wilayah publik. Tekhnologi, memegang peranan penting dalam membuka batas batas privasi dan publik. Tak ketinggalan, perubahan itu juga terjadi pada wilayah kebudayaan. Tradisi telah mengalami digradasi dan pergeseran pergeseran berbarengan dengan majunya tekhnologi itu. Demikian juga bahasa ungkap ekspresi seni mengalami banyak perubahan tak terhindarkan sesuai pola pikir dan kreatifitas juga kebutuhan manusia akan kesenian, sebagai hiburan semata atau memiliki nilai lain seperti sebagai media penyampaian pesan moral atau bahkan untuk kepentingan ritual.
Pada kebudayaan kita ( baca: Indonesia ) dulu tradisi tutur memiliki peran yang sangat penting sebagai penyampai pesan moral yang berisi petuah petuah tentang nilai dan digunakan untuk media komunikasi publik, sehingga perkembangannya sangat subur dengan berbagai macam bentuk dan gaya ungkap karena pada masa lampau tradisi tulis hanya dimengerti oleh kalangan tertentu. Namun sekarang, hal itu berubah sangat drastis disebabkan munculnya media media baru yang dihasilkan dari kecanggihan tekhnologi. Maka tradisi tutur digusur dan lambat laun lenyap digantikan televisi, intrnet, handphone, dan lain sebagainya belum lagi tontonan baru yang lebih menarik minat masyarakat sebagai penghibur ditengah sumpeknya himpitan pemenuhan kebutuhan akan hidup yang makin sulit dan kompetitif. Atas kesadaran itulah sekarang muncul kembali upaya menghidupkan budaya tutur yang mulai luntur oleh beberapa seniman dan praktisi kesenian meskipun dikemas dalam bentuk yang tidak sama persis di masa lampau. Dan salah satu seniman itu adalah Ki Djaswadi, yang dengan kesadaran penuh merasa prihatin melihat tontonan yang tak lagi bisa dijadikan tuntunan.

Ki Djaswadi
Wayang sebagai media penyampaian pesan pesan moral melalui obyek seni pertunjukan ternyata memiliki banyak ragam dan bentuk, berawal dari bentuk beber (berupa layar bergambar yang dibentangkan) kemudian berkembang menjadi per obyek tokoh seperti sekarang ini, dan perupaan secara visual juga memiliki berbagai macam vareasi, dari yang pipih sampai dalam bentuk tiga dimensi. Bahan bahan yang dipakai untuk membuat wayang juga beragam, dari  kulit, kayu, pelepah,daun,rumput,bahkan barang barang bekas
Dari perkembangan perwujutan dan visual yang sangat beragam dapat ditengarai  bahwa wayang memiliki posisi penting dalam budaya tutur di masyarakat kita, terutama jawa.

Ki Djaswadi
Adalah Ki Djaswadi, seorang seniman tradisi dengan kreatifnya mengolah tradisi tutur menjadi tontonan yang memiliki muatan tuntunan. Lelaki sepuh ini berani menyatakan bahwa wayang tutur adalah hasil karyanya, dia bercerita bahwa kita telah kehilangan tradisi lesan yaitu tutur, yang kemudian hal ini mengilhami munculnya ide pembuatan wayang tutur. Wayang tutur ini bahannya terbuat dari plastik talang penyangga air, sebab sebelunnya pernah membuat dari kardus oleh karena mudah rusak karena air dan cuaca, maka digantilah dengan bahan plastik karet juga baru baru ini berkembang ke alternatif bahan lainnya seperti akar bambu dan batok kelapa. “saya akan mengusahakan menggunakan apapun bahan yang tadinya tidak terpakai untuk saya rangkai menjadi bentuk wayang, apalagi teman teman seniman yang lain juga mendukung ide dan gagasan,ini membuat saya makin bersemangat berkarya,” tutur beliau sambil menghisap  rokok kreteknya.
Alasan lain Ki Djaswadi mempopulerkan wayang tutur adalah berawal dari perkembangan seni kentrung yang sangat memprihatinkan, dan baginya kentrung kurang dari segi cerita, meskipun ada persamaan pada penyampaian tradisi tuturnya. Sebelum menggeluti wayang tutur dan kentrung pada tahun 1980an seniman gaek ini juga menjelajahi panggung panggung ketoprak, baik sebagai pemain, juru bayar, artistik dan pengkrawit. Begitu banyak aktifitas seni yang pernah digeluti Ki Djaswadi,  hal ini terlihat ketika saya berkunjung ke rumah beliau di desa Pekalongan Winong kidul banyak saya jumpai patung patung ukir sederhana. dan bukan hanya itu, ternyata sampai sekarang beliau juga mendidik anak anak sekolah untuk mencintai dan mengenal gamelan. Tercatat ada sekolah SD , SMP, juga SMA beliau pegang. Dari gamelan asli sampai gamelan program komputer.

Wayang Tutur
Wayang Tutur ini memiliki ciri penceritaan yang bersumber dari babat, dongeng, hikayat,dan cerita sosial masyarakat jadi tidak bersumber dari epos besar Ramayana dan Mahabarata seperti wayang Purwa. Pada ilustrasi musik pengiring tidak terpaku pada gamelan, Ki Djaswadi membuka diri berkolaborasi dengan berbagai pengiring seperti musik kroncong, musil mulut, dan musik alternatif macam Gagego Musik Kampoeng. Yang terpenting baginya adalah bagaimana pitutur yang dia sampaikan melalui media wayang ini bisa sampai di kalayak penikmatnya. Beliau tidak memilih milih tempat untuk menggelar pementasannya, kemunculannya berawal di acara Sedekah Bumi Pekalongan dengan Lakon “Dumadine Kitab Adam Makna” dengan iringan musik kroncong, kemudian Ndalang tunggal di desa Ndawung memakai gamelan mulut, di Sedekah Bumi Getaan, dan terakhir kemarin di acara Jemuwah Wagenan Gabus diiringi Gagego Musik Kampoeng dengan lakon “JAMADAGNI”


Lakon Jamadagni
Ramaparasu atau Ramabargawa adalah putra bungsu Brahmana Jamadagni yang beristrikan Dewi Renuka. Jamadagni semula adalah raja yang memutuskan diri menjadi pertapa dan hidup damai di padepokan.namun tiba tiba malapetaka datang tak terduga menimpaqnya. Suatu hari datanglah raja bernama Citrarata sedang berburu dan singgah mandi di telaga dekat padepokan. Ia adalah raja yang tampan, gagah dan bersuara merdu, siapapun yang mendengar pasti terguncang imannya. Kebetulan saat itu juga Renuka istri brahmana Jamadagni sedang memetik sayur, alkisah ketika melihat raja Citrarata dia tak dapat menahan diri, akhirnya lupalah nilai dan norma norma maka terjadilan perzinahan di telaga itu. Tiba tiba awan menjadi mendung, matahari kehilangan sinarnya,gelap gulitalah sekitar telaga, dikanan kiri geledek menyambar bergemuruh, sedang dua insan dimabuk asmara itu tidak menghiraukannya. Sedang  Jamadagni sudah mencapai tingkatan Brahmana,dia tidak risau dengan malapetaka yang menimpa keluarganya. Kemudian, ketika istrinya tak bisa menjawab perbuatannya Brahmana Jamadagni memanggil putra putranya dan menceritakan semua untuk kemudian menyuruh membunuh ibunya agar terbebas dari siksa. Betapa terkejutnya anak anaknya dan tentu manolak untuk membunuh ibunya. Karena menolak  mereka kemudian dikutuk menjadi binatang. Dari kelima putranya itu ada satu yang bernama Ramaparasu dan menyanggupi perintah ramanya. Setelah menyembah dipanahlah ibunya dan matilah ibunya. Karena sudah melaksanakan tugasnya maka Ramaparasu  diperbolehkan meminta lima hal untuk dikabulkan. Pertama dia minta ibunya dihidupkan kembali, kedua keempat saudaranya dikembalikan ke wujud manusia, ketiga  hilangkan dosaku telah membunuh ibuku, keempat minta umur panjang, kelima minta kesaktian tiada tara dan hanya mati oleh dewa Wisnu sendiri. Demikianlah permohonan itu telah dikabulkan semua dan kembali tentramlah keluarga Brahmana Jamadagni seperti semula.