Kemarin, saya dan beberapa kawan masuk komplek pasar Gabus setelah sekian lama hal itu tak pernah saya lakukan. Mungkin didorong oleh kerinduan saya pada masa kecil ketika pasar itu masih terbuka, belum berdinding tembok dan menjadi arena bermain anak-anak seusia saya dan mas-mas dan mbak-mbak saya ke atas.
Di masyarakat Gabus ada kepercayaan terkait dengan pasar yang akhirnya menjadi adat istiadat setempat, ada mitos bagi pasangan yang baru menikah akan melakukan acara keliling pasar sebanyak tiga kali, dan jika tidak dilakukan yang bersangkutan akan menjadi gila, dan hal ini masih dilakukan sebagian besar masyarakat Gabus, selain aspek mitos ada aspek logika sebagai pemberitahuan kepada publik tentang pasangan yang baru menikah itu, karena pasar salah satu area publik masyarakat Gabus.
Ya, saya ingat betul masa-masa itu, apapun permainan anak mayoritas kami lakukan didalam komplek pasar itu, dari olan-olan (sejenis permainan kelereng), jirak (sejenis permainan karet) gobak sodor, laker, gangsingan, slentik-an atom, kasti, bahkan main sepak bola (mungkin sekarang orang menyebutnya futsal) dan masih banyak lagi permainan teman-teman perempuan seperti seprento, dakon dan bekel yang tentunya siapapun pernah main di pasar Gabus akan mengingatnya.
Selain sebagai arena bermain masa kecil di masa saya, pasar itu juga menjadi Ruang Publik masyarakat Gabus, mulai dari sebagai tempat pemilihan kepala desa dan pemilu sampai acara tradisional dan arena tempat kesenian, setiap acara sedekah bumi secara rutin ada acara kesenian tradisi seperti wayang kulit, ketoprak, barongan dll. Yang sebelumnya biasanya pada siangnya sebelum wayangan ada bancakan kenduren sedekahan bersama berebutan nasi tumpeng dan betapa berharganya sebutir telur...
Heeemmmm... teringat jelas keriuhan dan kebersamaan kala itu, dan wayangpun mulai dimainkan sampai malam, anak-anak seusiaku dulu biasa keluyuran sampai malam, main pek-to (petak umpet) dan nimbrung nombok lotre mondok (dapatnya telur) bahkan dadu kumpul orang dewasa, pokoknya suasananya menyenangkan dan meriah.
Namun sesuai perkembangan jaman dan makin bertambahnya para pedagang di pasar membuat semua itu lambat laun mulai hilang, tak ada lagi lantai pasar yang lenggang selepas pedagang jualan, pasar sudah tertutup tembok, tak terdengar lagi keriuhannya radius dua ratus meter, tak ada penjual jamu dan sulapan, tak bisa lagi anak-anak bermain di lingkup dalam komplek pasar karena los-los kanan kiri sudah penuh lemari, tak ada berebutan layangan dan nge-jo benang layangan, tak ada ketoprakan malam lagi, tak ada lotre mondok dan dadu lagi... dan di sore itu, di pasar yang sama saya terkenang semua itu, mungkin hal ini dirasakan juga kawan-kawan seangkatan saya ke atas, yang sekarang masih tersisa adalah barongan malem jemuwah wage keliling kampung.
Gabus tempat dimana dulu saya dilahirkan di samping utara pasar menyimpan banyak kenangan, teringat pagi-pagi di masa saya belum sekolah banyak mbah-mbah kencing dengan bebasnya berdiri cuma dengan menjinjing kain jarik (ha ha ha...) pemandangan yang mungkin tak lajim di jaman sekarang, tukang obral berikut banjetnya, bakul jamu sambi pengobatan dan sulap, semua berjalan mengalir dan tanpa diburu waktu seperti laju kehidupan sekarang ini. Kini pasar telah berkembang pesat dan sesak, jajanan tradisional juga mulai tergantikan makanan pabrik, di sebelah barat pasar kira-kira seratusan meter telah berdiriminimarket waralaba, jalan ramai sepeda motor menggantikan dokar sebagai angkot di wilayah pasar, semoga nadi perekonomian terus berputar dan pasar tradisional tidak ikut punah seperti hilangnya areal publik tempat bermain saya dulu, semoga tidak digusur menjadi mall dan supermarket seperti yang terjadi di kota-kota besar dan tetap menjadi sumber penghasilan menggerakkan perekonomian masyarakat bawah ...semoga...!!!.
Salam,
Gabus, Jemuwah Pahing 27 Agustus 2010
Lor Pasar Gabus