Senin, 12 Desember 2011

PASAR GABUS (sebuah kenangan tentang “Ruang Publik-Ruang Bermain”)

Oleh Brandhal's Pati pada 27 Agustus 2010 pukul 22:15 wib.

Kemarin, saya dan beberapa kawan masuk komplek pasar Gabus setelah sekian lama hal itu tak pernah saya lakukan. Mungkin didorong oleh kerinduan saya pada masa kecil ketika pasar itu masih terbuka, belum berdinding tembok dan menjadi arena bermain anak-anak seusia saya dan mas-mas dan mbak-mbak saya ke atas.
Di masyarakat Gabus ada kepercayaan terkait dengan pasar yang akhirnya menjadi adat istiadat setempat, ada mitos bagi pasangan yang baru menikah akan melakukan acara keliling pasar sebanyak tiga kali, dan jika tidak dilakukan yang bersangkutan akan menjadi gila, dan hal ini masih dilakukan sebagian besar masyarakat Gabus, selain aspek mitos ada aspek logika sebagai pemberitahuan kepada publik tentang pasangan yang baru menikah itu, karena pasar salah satu area publik masyarakat Gabus.
Ya, saya ingat betul masa-masa itu, apapun permainan anak mayoritas kami lakukan didalam komplek pasar itu, dari olan-olan (sejenis permainan kelereng), jirak (sejenis permainan karet) gobak sodor, laker, gangsingan, slentik-an atom, kasti, bahkan main sepak bola (mungkin sekarang orang menyebutnya futsal) dan masih banyak lagi permainan teman-teman perempuan seperti seprento, dakon dan bekel yang tentunya siapapun pernah main di pasar Gabus akan mengingatnya.
Selain sebagai arena bermain masa kecil di masa saya, pasar itu juga menjadi Ruang Publik masyarakat Gabus, mulai dari sebagai tempat pemilihan kepala desa dan pemilu sampai acara tradisional dan arena tempat kesenian, setiap acara sedekah bumi secara rutin ada acara kesenian tradisi seperti wayang kulit, ketoprak, barongan dll. Yang sebelumnya biasanya pada siangnya sebelum wayangan ada bancakan kenduren sedekahan bersama berebutan nasi tumpeng dan betapa berharganya sebutir telur...
Heeemmmm... teringat jelas keriuhan dan kebersamaan kala itu, dan wayangpun mulai dimainkan sampai malam, anak-anak seusiaku dulu biasa keluyuran sampai malam, main pek-to (petak umpet) dan nimbrung nombok lotre mondok (dapatnya telur) bahkan dadu kumpul orang dewasa, pokoknya suasananya menyenangkan dan meriah.

Namun sesuai perkembangan jaman dan makin bertambahnya para pedagang di pasar membuat semua itu lambat laun mulai hilang, tak ada lagi lantai pasar yang lenggang selepas pedagang jualan, pasar sudah tertutup tembok, tak terdengar lagi keriuhannya radius dua ratus meter, tak ada penjual jamu dan sulapan, tak bisa lagi anak-anak bermain di lingkup dalam komplek pasar karena los-los kanan kiri sudah penuh lemari, tak ada berebutan layangan dan nge-jo benang layangan, tak ada ketoprakan malam lagi, tak ada lotre mondok dan dadu lagi... dan di sore itu, di pasar yang sama saya terkenang semua itu, mungkin hal ini dirasakan juga kawan-kawan seangkatan saya ke atas, yang sekarang masih tersisa adalah barongan malem jemuwah wage keliling kampung.
Gabus tempat dimana dulu saya dilahirkan di samping utara pasar menyimpan banyak kenangan, teringat pagi-pagi di masa saya belum sekolah banyak mbah-mbah kencing dengan bebasnya berdiri cuma dengan menjinjing kain jarik (ha ha ha...) pemandangan yang mungkin tak lajim di jaman sekarang, tukang obral berikut banjetnya, bakul jamu sambi pengobatan dan sulap, semua berjalan mengalir dan tanpa diburu waktu seperti laju kehidupan sekarang ini. Kini pasar telah berkembang pesat dan sesak, jajanan tradisional juga mulai tergantikan makanan pabrik, di sebelah barat pasar kira-kira seratusan meter telah berdiriminimarket waralaba, jalan ramai sepeda motor menggantikan dokar sebagai angkot di wilayah pasar, semoga nadi perekonomian terus berputar dan pasar tradisional tidak ikut punah seperti hilangnya areal publik tempat bermain saya dulu, semoga tidak digusur menjadi mall dan supermarket seperti yang terjadi di kota-kota besar dan tetap menjadi sumber penghasilan menggerakkan perekonomian masyarakat bawah ...semoga...!!!.

Salam,
Gabus, Jemuwah Pahing 27 Agustus 2010
Lor Pasar Gabus 

Minggu, 04 Desember 2011

JEMUWAH WAGENAN

 
kumpulan jemuwah wagenan
kamis, 1 desember 2011
jam 20:00 wib
di pelataran jemuwah wagenan

diisi pentas monolog “PECERèN” oleh dwi riyanto
dan diskusi budaya
 



Kumpulan jemuwah wagenan merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh Komunitas Jemuwah Wage Gabus pada tiap malem jemuwah wage bersamaan dengan ritual barongan muteri (mengelilingi) pasar Gabus.
Kumpulan dilaksanakan dengan suasana santai sambil minum kopi atau teh dan makan jajanan seadanya, berdiskusi ngalor ngidul tentang seni dan budaya.
Topik bahasan diskusi yang diangkat tentang eksistensi dan kebanggaan atas budaya lokal yang mulai terdesak oleh budaya-budaya global. Satu hal yang pasti, pertentangan dan tarik-menarik yang terjadi antara budaya lokal dan global tersebut tak bisa dihindari, dan terus akan berlangsung, lalu bagaimana kita menyikapinya?
Dan kumpulan kali ini dipentaskan Monolog "PECERèN" oleh Dwi Riyanto dengan ilustrasi lagu oleh Gagego Musik Kampoeng.

photo posting : Anggit Tejo Sasongko

PECERèN adalah parit kecil yang berfungsi sebagai saluran pembuangan limbah keluarga
sekaligus saluran air hujan disekitar rumah.
Dalam perkembangan jaman karena kebutuhan akan rumah,
sering orang lupa untuk menyisakan tanahnya
guna difungsikan sebagai pecerèn.
Dan yang terjadi air limbah merambah ke tanah tetangga.
Hal tersebut akan menimbulkan pertengkaran.

Itulah tema monolog di komunitas jemuwah wagenan
desa Gabus - Pati - Jawa Tengah.
Sederhana..!!

Ilustrasi lagu "PECERèN" (Dirembug)
(Gagego Musik Kampoeng)
 
Bebarengan ayo dirembug perlune aja padu
ketemu karepe kebukak byak.. byak.. byak..
ayo padha ngguyu..
Ayo padha dikulinakna rembugan perkarane
aja karepe dhewe kebukak byak.. byak.. byak..
ayo padha ngguyu..
 
Pring sedhapur.. ing pinggir desa..
dadi tuladha.. kanggo para warga..
Ayo dulur.. sing padha akur..
aja dha tawur.. engko mundak ajur..
Iki ngono mung lelagon gegojegan



Sabtu, 03 Desember 2011

SEPIRIT BUDAYA

Pengertian secara umum tentang Budaya tidak bisa ditafsir secara material, sebab Budaya merupakan spirit dari masyarakat. Apalagi Budaya bukan sesuatu yang mati atau berhenti. Budaya akan selalu berputar sesuai perkembangan zaman. Kadang orang menjadi kaget dengan perkembangan sikap manusia (terutama pada masyarakat Indonesia) yang budayanya sangat dilandasi dengan nilai-nilai, etika, estetika dan adat-istiadat yang kuat.
Tetapi pada akhir-akhir ini Indonesia sedang mengalami fase yang tidak jelas. Itu terjadi karena pengaruh perkembangan politik, ekonomi dan komunikasi. Hal ini tampak sangat nyata dengan munculnya sikap pragmatis, materialistis dan konsumtif yang membabi buta. Tata nilai akhirnya menjadi sesuatu yang asing. Sementara waktu perkembangan negatifnya memang sulit dibendung. tetapi pada saatnya akan menuju ke normatif kembali. Ibarat COKROMANGGILINGAN.
Teknologi dan komunikasi sangat berpengaruh kuat. Dalam menerima dua hal tersebut, kita hanya berkutat pada sampahnya teknologi dan komunikasi belaka.. Bahwa hanya efek negatifnya saja yg dikembangkan. Karena kita sebenarnya gagap untuk menerima, sehingga memunculkan sikap kamuflase. Bangga dianggap maju, dan moderen. Sikap beginilah yang akan melunturkan tata nilai, etika dan estetika. Orang tidak punya pijakan kepribadian yang kuat.
PENDIDIKAN, Sistem Pendidikan juga malah ikut andil dalam terkikisnya jati diri anak bangsa. Dengan format standar internasional yang diadakan sendiri karena pada prinsipnya tidak ada standar seperti itu di dunia, menjadikan pelajar sangat terbebani dengan materi pelajaran. Anak belajar dari pagi hingga sore, hal ini akan mencipta sikap individual yang tinggi, dan mencipta sikap materialistis karena beban biaya pendidikan yang tinggi pula.
TRADISIONAL. Bagi kita yang mengkategorikan kesenian asli Indonesia masuk dalam kesenian tradisional adalah keliru besar. Nampaknya kita terlalu tidak percaya diri atau minderwaardeh dan berjiwa inlander. Sebab bentuk kesenian yang ada sudah terbentuk ratusan tahun yang lalu, dan seni tidak mengenal waktu. Memakai istilah tradisional artinya secara kejiwaan kita lemah dan tidak bangga dalam menegakkan diri sebagai bangsa untuk sejajar dengan bangsa lain.
(Dwi Riyanto)