Putut Puspito Edi |
oleh Putut Puspito Edi pada 3 Maret 2012 pukul 19:30
Perkembangan jaman bagai lintasan lintasan kisah tanpa jeda, bergerak demikian cepatnya tanpa batas. Membuka tirai dan dinding pemisah antar wilayah secara fisik maupun matriil, terbukanya ruang ruang privasi ke wilayah publik. Tekhnologi, memegang peranan penting dalam membuka batas batas privasi dan publik. Tak ketinggalan, perubahan itu juga terjadi pada wilayah kebudayaan. Tradisi telah mengalami digradasi dan pergeseran pergeseran berbarengan dengan majunya tekhnologi itu. Demikian juga bahasa ungkap ekspresi seni mengalami banyak perubahan tak terhindarkan sesuai pola pikir dan kreatifitas juga kebutuhan manusia akan kesenian, sebagai hiburan semata atau memiliki nilai lain seperti sebagai media penyampaian pesan moral atau bahkan untuk kepentingan ritual.
Pada kebudayaan kita ( baca: Indonesia ) dulu tradisi tutur memiliki peran yang sangat penting sebagai penyampai pesan moral yang berisi petuah petuah tentang nilai dan digunakan untuk media komunikasi publik, sehingga perkembangannya sangat subur dengan berbagai macam bentuk dan gaya ungkap karena pada masa lampau tradisi tulis hanya dimengerti oleh kalangan tertentu. Namun sekarang, hal itu berubah sangat drastis disebabkan munculnya media media baru yang dihasilkan dari kecanggihan tekhnologi. Maka tradisi tutur digusur dan lambat laun lenyap digantikan televisi, intrnet, handphone, dan lain sebagainya belum lagi tontonan baru yang lebih menarik minat masyarakat sebagai penghibur ditengah sumpeknya himpitan pemenuhan kebutuhan akan hidup yang makin sulit dan kompetitif. Atas kesadaran itulah sekarang muncul kembali upaya menghidupkan budaya tutur yang mulai luntur oleh beberapa seniman dan praktisi kesenian meskipun dikemas dalam bentuk yang tidak sama persis di masa lampau. Dan salah satu seniman itu adalah Ki Djaswadi, yang dengan kesadaran penuh merasa prihatin melihat tontonan yang tak lagi bisa dijadikan tuntunan.
Ki Djaswadi
Wayang sebagai media penyampaian pesan pesan moral melalui obyek seni pertunjukan ternyata memiliki banyak ragam dan bentuk, berawal dari bentuk beber (berupa layar bergambar yang dibentangkan) kemudian berkembang menjadi per obyek tokoh seperti sekarang ini, dan perupaan secara visual juga memiliki berbagai macam vareasi, dari yang pipih sampai dalam bentuk tiga dimensi. Bahan bahan yang dipakai untuk membuat wayang juga beragam, dari kulit, kayu, pelepah,daun,rumput,bahkan barang barang bekas
Dari perkembangan perwujutan dan visual yang sangat beragam dapat ditengarai bahwa wayang memiliki posisi penting dalam budaya tutur di masyarakat kita, terutama jawa.
Ki Djaswadi |
Alasan lain Ki Djaswadi mempopulerkan wayang tutur adalah berawal dari perkembangan seni kentrung yang sangat memprihatinkan, dan baginya kentrung kurang dari segi cerita, meskipun ada persamaan pada penyampaian tradisi tuturnya. Sebelum menggeluti wayang tutur dan kentrung pada tahun 1980an seniman gaek ini juga menjelajahi panggung panggung ketoprak, baik sebagai pemain, juru bayar, artistik dan pengkrawit. Begitu banyak aktifitas seni yang pernah digeluti Ki Djaswadi, hal ini terlihat ketika saya berkunjung ke rumah beliau di desa Pekalongan Winong kidul banyak saya jumpai patung patung ukir sederhana. dan bukan hanya itu, ternyata sampai sekarang beliau juga mendidik anak anak sekolah untuk mencintai dan mengenal gamelan. Tercatat ada sekolah SD , SMP, juga SMA beliau pegang. Dari gamelan asli sampai gamelan program komputer.
Wayang Tutur
Wayang Tutur ini memiliki ciri penceritaan yang bersumber dari babat, dongeng, hikayat,dan cerita sosial masyarakat jadi tidak bersumber dari epos besar Ramayana dan Mahabarata seperti wayang Purwa. Pada ilustrasi musik pengiring tidak terpaku pada gamelan, Ki Djaswadi membuka diri berkolaborasi dengan berbagai pengiring seperti musik kroncong, musil mulut, dan musik alternatif macam Gagego Musik Kampoeng. Yang terpenting baginya adalah bagaimana pitutur yang dia sampaikan melalui media wayang ini bisa sampai di kalayak penikmatnya. Beliau tidak memilih milih tempat untuk menggelar pementasannya, kemunculannya berawal di acara Sedekah Bumi Pekalongan dengan Lakon “Dumadine Kitab Adam Makna” dengan iringan musik kroncong, kemudian Ndalang tunggal di desa Ndawung memakai gamelan mulut, di Sedekah Bumi Getaan, dan terakhir kemarin di acara Jemuwah Wagenan Gabus diiringi Gagego Musik Kampoeng dengan lakon “JAMADAGNI”
Lakon Jamadagni
Ramaparasu atau Ramabargawa adalah putra bungsu Brahmana Jamadagni yang beristrikan Dewi Renuka. Jamadagni semula adalah raja yang memutuskan diri menjadi pertapa dan hidup damai di padepokan.namun tiba tiba malapetaka datang tak terduga menimpaqnya. Suatu hari datanglah raja bernama Citrarata sedang berburu dan singgah mandi di telaga dekat padepokan. Ia adalah raja yang tampan, gagah dan bersuara merdu, siapapun yang mendengar pasti terguncang imannya. Kebetulan saat itu juga Renuka istri brahmana Jamadagni sedang memetik sayur, alkisah ketika melihat raja Citrarata dia tak dapat menahan diri, akhirnya lupalah nilai dan norma norma maka terjadilan perzinahan di telaga itu. Tiba tiba awan menjadi mendung, matahari kehilangan sinarnya,gelap gulitalah sekitar telaga, dikanan kiri geledek menyambar bergemuruh, sedang dua insan dimabuk asmara itu tidak menghiraukannya. Sedang Jamadagni sudah mencapai tingkatan Brahmana,dia tidak risau dengan malapetaka yang menimpa keluarganya. Kemudian, ketika istrinya tak bisa menjawab perbuatannya Brahmana Jamadagni memanggil putra putranya dan menceritakan semua untuk kemudian menyuruh membunuh ibunya agar terbebas dari siksa. Betapa terkejutnya anak anaknya dan tentu manolak untuk membunuh ibunya. Karena menolak mereka kemudian dikutuk menjadi binatang. Dari kelima putranya itu ada satu yang bernama Ramaparasu dan menyanggupi perintah ramanya. Setelah menyembah dipanahlah ibunya dan matilah ibunya. Karena sudah melaksanakan tugasnya maka Ramaparasu diperbolehkan meminta lima hal untuk dikabulkan. Pertama dia minta ibunya dihidupkan kembali, kedua keempat saudaranya dikembalikan ke wujud manusia, ketiga hilangkan dosaku telah membunuh ibuku, keempat minta umur panjang, kelima minta kesaktian tiada tara dan hanya mati oleh dewa Wisnu sendiri. Demikianlah permohonan itu telah dikabulkan semua dan kembali tentramlah keluarga Brahmana Jamadagni seperti semula.
Ijin Reupload di Blog kulo Om
BalasHapus